Langsung ke konten utama

Zakat


Pengelolaan Zakat Menurut UU No. 23 Tahun 2011
1. Pokok-Pokok Pikiran UU No. 23 Tahun 2011
UU No. 38 Tahun 1999 menjadi milestone sejarah zakat Indonesia modern, berbasis
desentralisasi dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam
pengelolaan zakat nasional. UU No 23 Tahun 2011 secara drastis merubah rezim
zakat nasional dengan mensentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya
oleh pemerintah melalui BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang
melaksanakan seluruh aspek pengelolaan zakat nasional meliputi fungsi regulator
(pasal 7 ayat 1 huruf a, c dan d) maupun fungsi operator (pasal 7 ayat 1 huruf b).115 iDalam kerangka institusional UU No. 23 Tahun 2011, BAZNAS
merupakan satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat
nasional (pasal 6) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupeten/kota (pasal 15)
di mana BAZNAS di setiap tingkatan dapat membentuk UPS (Unit Pengumpul
Zakat) di setiap instansi pemerintahan hingga ke tingkat kelurahan (pasal 16).
Dengan BAZNAS sebagai pemegang tunggal kewenangan pengelolaan zakat
nasional, maka peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat nasional melalui
Lembaga Amil Zakat (LAZ) kini hanya merupakan aktivitas membantu BAZNAS
(pasal 17).116
Dengan menjalankan fungsi ganda sebagai regulator (menyelenggarakan fungsi
perencana, pengendalian, pelaporan dan pertanggung jawaban dari aktivitas
pengelolaan zakat nasional) dan sekaligus sebagai operator (menyelenggarakan
fungsi pelaksanaan dari aktivitas pengelola zakat nasiona), UU No. 23 tahun 2011
memberi penguatan signifikan kepada BAZNAS yaitu ditetetapkan sebagai satu￾satunya lembaga yang berwenang dalam pengelolaan zakat nasional (pasal 6),
kegiatannya merupakan tugas pemerintahan sehingga berhak mendapat pembiayaan
dari APBN dan ditambah dengan hak amil (pasal 30), serta berhak membentuk
organisasi pendukung yaitu BAZNAS provinsi dan kabupaten/kota serta UPZ di
setiap instansi pemerintahan hingga tingkat kelurahan (pasal 16).
Ketika BAZNAS mendapat penguatan dan privilege yang besar, di sisi lain,
operator bentukan masyarakat sipil, LAZ, mendapat perlakuan sebaliknya.
Dibawah UU No. 23 Tahun 2011, ekstensi dan peran LAZ diturunkan menjadi
hanya sekedar membantu BAZNAS (pasal 17), pendirinya diharapkan
memenuhi persyaratan yang sangat ketat (pasal 18), dan wajib melapor secara
berkala ke BAZNAS (pasal 19). Kegiatan LAZ karena bukan merupakan bagian
dari tugas pemerintah maka tidak dapat pembiayaan dari APBN, hanya dapat
menggunakan hak amil saja (pasal 32).117
Di bawah UU No. 23 tahun 2011, Kementerian Agama (kemenag)
menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai otoritas tertinggi zakat yang menerima
laporan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas BAZNAS, serta menjalankan
sebagai fungsi regulator antara lain mendirikan BAZNAS di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota serta melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan, bersama-sama
gubernur dan bupati/wali kota, terhadap seluruh oprator yaitu BAZNAS, BAZNAS
provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ. Dengan fungsi pengawasan berada di
tangan Menteri Agama, maka pemerintah (Kemenag) diberi kewenangan untuk
menggunakan sanksi atministrasi bagi BAZNAS dan LAZ yang lalai, berupa
peringatan tertulis hingga pencabutan izin. Kelalaian yang dapat berakibat
pemberian sanksi atministrasi ini merupakan ketentuan LAZ wajib memberi laporan
yang telah diaudit ke BAZNAS (pasal 19), BAZNAS atau LAZ wajib memberi bukti
setoran zakat kepada muzaki (pasal 23 ayat 1), pendistribusian dan
pendayagunaan dana sosial keagamaan lain sesuai syariat dan dicatat dalam
pembentukan tersendiri dan LAZ wajib member laporan ke BAZNAS dan
pemerintah daerah.118
Pemerintah juga dibekali dengan ketentuan pidana untuk menegakkan
berbagai aturan dalam UU No. 23 Tahun 2011, berupa pidana penjara dan/atau
pidana denda. Pelanggaran yang dapat dapat berakibat penerapan ketentuan pidana
adalah pelanggaran terhadap pasal 25, yaitu pendistribusian zakat kepada mustahik
tidak sesuai sengan ketentuan syariat Islam, dipidana penjara maksimum 5 tahun
dan/atau denda Rp 500 juta (pasal 39), pelanggaran terhadap pasal 37, yaitu
menyalah gunakan dana yang dikelolanya, seperti memiliki, menjaminkan,
mengibahkan, menjual, dan/atau mengalihkannya, dipidana penjara maksimum 5
tahun dan/atau denda Rp 500 juta (pasal 40), serta pelanggaran terhadap pasal 38,
yaitu mengelola zakat tanpa izin pejabat berwenang dipidana maksimum 1 tahun
dan/atau denda Rp 50 juta (pasal 41).119
2. Implikasi dan Dampak UU No. 23 Tahun 2011
Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UU Zakat
semestinya mengukuhkan peran Negara dalam memberi perlindungan bagi warga
Negara yang membayar zakat (muzaki), menjaga ketertiban umum dengan
mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sector filantropi Islam untuk
perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat
nasional. Namun UU No. 23 Tahun 2011 ini justru mematahkan praktik
pengelolaan zakat yang baik oleh masyarakat yang telah berjalan puluhan tahun
sekaligus memarjinalkan partisipasi masyarakat sipil dalam penanggulangan
kemiskinan dan pembangunan.120
Marginalisasi LAZ dalam UU No. 23 Tahun 2011 ini sangat jelas dan
eksplisit. Undang-undang mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas
pengelolaan zakat nasional hanya BAZNAS, sedangkan pendirian LAZ oleh
masyarakat hanya sekedar membantu BAZNAS. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ
direstriksi secara ketat, di mana restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ
didirikan atau merupakan bagian dari ormas Islam. LAZ sekarang yang sudah
dikukuhkan memang tetap diakui dalam undang-undang ini, namun maksimal dalam
5 tahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan undang-undang baru, artinya
harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak
dicabut oleh Menteri Agama. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk
melemahkan bahkan “membunuh” LAZ karena LAZ-LAZ besar saat ini dan tidak
berafiliasi dengan ormas Islam.121
Hal ini secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja
zakat nasional. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak
ditemukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi
kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional terbukti justeru meningkat
setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel. UU zakat baru ini juga tidak
memberi kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. UU No.
23 Tahun 2011 menempatkan Kementerian Agama sebagai otoritas zakat tertinggi
sekaligus menjalankan sebagian fungsi regulator, khususnya fungsi pembinaan dan
pengawasan sedangkan BAZNAS fokusutamanya sebagai operator. Namun di saat
yang sama BAZNAS juga melakukafungsi regulator khususnya fungsi perenca
naan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban dari aktivitas
pengelolaan zakat nasional serta menerima laporan dari BAZNAS provinsi,
BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ. Dalam UU ini, BAZNAS secara jelas
mengalami conflict ofinterest: berstatus sebagai operator, namun memiliki
kewenangan regulator. Kewenangan otoritatif yang dimiliki BAZNAS tidak akan
efektif karena ketiadaan kredibilitas, karena BAZNAS merangkap sebagai
operator. Fungsi regulasi yang dijalankan Kementrian Agama pun akhirnya terlihat
menjadi setengah hati, dan karenanya diyakini tidak akan optimal. Kementerian
Agama akan sulit melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan secara optimal
karena BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ melakukan
pelaporan ke BAZNAS, bukan ke Kementerian Agama.122
Meskipun undang-undang menyatakan bahwa BAZNAS merupakan lembaga
pemerintah non struktural, namun pendirian BAZNAS secara jelas mengikuti
struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat
undang-undang, maka ke depan selain BAZNAS di tingkat pusat maka setidaknya
akan terdapat 33 BAZNAS provinsi dan 502 BAZNAS kabupaten/kota. Dengan
konsep pengaturan kewenangan pengelolaan zakat di bawah UU NO 23 Tahun 2011
dengan BAZNAS yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan,
maka jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan sangat jelas bahwa inefisiensi
dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil.123
Pendukung UU No. 23 Tahun 2011 berargumen bahwa di bawa UU No. 38
Tahun 1999, di mana BAZ dan LAZ sama-sama menjadi operator zakat nasional,
dan pendukung UU No. 23 Tahun 2011 beragumen tidak marginalisasi (pasal
17) dalam undang-undang baru, tetapi yang ada formalisasi yaitu konsolidasi
dan sinergi antara OPZ (pasal 19). Stuktur BAZNAS dari tingkat pusat hingga
kabupaten/kota bukanlah cermin inefisiensi, melainkan merupakan bentuk
pelayanan zakat yang menjangkau setiap pelosok negeri. Dukungan dana APBN
untuk BAZNAS adalah terbenarkan karena tugas BAZNAS jauh lebih berat dari
LAZ, yaitu selain sebagai operator, juga sebagai regulator.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bendungan air untuk lahan sawit/Weir sandbag

Bendungan air kayu dengan pasir! 🌳💧 A. Bendungan Air  Bendungan air kayu dengan pasir dapat digunakan untuk: Pengendalian banjir : Bendungan dapat membantu mengendalikan aliran air dan mencegah banjir. Irigasi : Bendungan dapat digunakan untuk menyimpan air dan mengalirkannya ke sawah atau ladang. Pembangkit listrik : Bendungan dapat digunakan untuk menghasilkan listrik melalui pembangkit listrik tenaga air. B. Konstruksi bendungan kayu dengan pasir: Bahan : Kayu dan pasir digunakan sebagai bahan utama. Desain : Bendungan dirancang untuk menahan tekanan air dan mencegah kebocoran. Konstruksi : Kayu digunakan sebagai struktur utama, sedangkan pasir digunakan sebagai bahan pengisi dan penstabil. C. Kelebihan dan kekurangan: 1. Kelebihan: - Biaya konstruksi yang relatif rendah - Dapat dibangun di daerah dengan sumber daya alam yang terbatas 2. Kekurangan: - Kekuatan struktur yang terbatas - Rentan terhadap kerusakan akibat banjir atau gempa bumi Contoh penggunaan: Bendungan kayu de...

Makna bepapas

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Semua sudah mengetahui bahwa orang tua kita dulu, khususnya di daerah sambas,   banyak sekali yang menguasai ilmu –ilmu keagamaan. Sehingga mereka melakukan sesuatu ibadah dan kemasysarakatan tidak lepas dari sumber agama yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Semboyan mereka “ Adat bersandikan syara’t dan bersandikan Kitabullah ”. tradisi tersebut menunjukkan jalan untuk taat beribadah kepada Allah. Maka dapatlah kita lihat tradisi-tradisi yang ada sekarang ini tentu beracuan pada kitabullah dan sunnah rasul, yang di sesuaikan waktu dan kemasyarakatan. B.      Rumusan masalah 1.       Apa yang di maksud dengan bepapas? 2.       Apa-apa saja alat yang di gunakan? 3.       Bagaiman langkah-langkah memapas? 4.       Apa manfaat dari bepapas? C.     Tujuan 1.   ...

foto pernikahan sri dan ahmat

Kumpulan  foto  pernikahan Ahmad dan Sri unduh foto Lebih banyak foto